-->

WM1

Itulah Sebab di Dunia Maya Ini Pencitraan Itu Penting



Tidak bisa dipungkiri, media sosial adalah sarana yang bisa diakses banyak kalangan dengan berbagai kepentingan. Dari anak-anak sampai orang dewasa, untuk pengembangan bisnis atau sekadar bertegur sapa dengan teman-teman yang sudah lama tidak bersua. Pun untuk mengekspresikan diri dengan curhatan-curhatan melow, pisuhan, atau unggahan foto hasil jalan-jalan.
Belakangan semakin banyak unggahan foto atau status dari akun media sosial yang kemudian tersebar secara viral dan menuai kecaman dari banyak pihak. Ini tentu karena postingan tersebut dianggap dan disepakati banyak pihak tidak sesuai dengan norma yang ada di masyarakat kita. 

Hujatan dan sumpah serapah sudah barang tentu menghujani pemilik akun mengiringi unggahannya itu, atau mungkin hasil screenshoot yang kemudian disebar secara individu atau dikemas sebagai sebuah berita dan diterbitkan di berbagai situs media. 

Belum lama beranjak dari timeline kita, kasus-kasus unggahan foto yang kemudian viral dengan banyak kecaman. Masih ingat Ida Tri Susanti? Seorang mahasiswi di Jember, yang mengunggah foto diri berbaju salah satu klub sepak bola dan hasil buruannya—kucing hutan—yang dilindungi negara karena populasinya yang hampir punah. Mungkin karena tidak tahu tenang kucing hutan yang dilindungi negara atau hanya berniat pamer kepada teman-temannya di media sosial. Namun justru hujatan dan sumpah serapah netizen dari berbagai penjuru negeri ini, terus mengalir kepada mbak Ida ini. Dan ini tentu akan terus membekas di kehidupannya.

Membunuh satwa yang dilindungi negara memang bukan perbuatan yang dapat dibenarkan. Namun membunuh mental seseorang dengan hujatan dan sumpah serapah dianggap biasa saja karena dilakukan bersama-sama.

Menyusul kemudian unggahan Hesti Sundari di akun instagram miliknya. Dia berpose bak model di rerimbunan bunga Amarilis di Pathuk, Gunung Kidul, yang rusak karena diinjak-injak para pengunjung.

Ini tak kalah viral dan tentu dengan diiringi berbagai hujatan yang ditujukan kepadanya. Terlebih unggahannya itu disertai kalimat mencak-mencak merasa tidak bersalah. Fatal. Ini mungkin karena mbak Hesti tidak pandai mencitrakan diri. Coba tidak mencak-mencak, hapus unggahannya, dan segera meminta maaf atas perbuatannya, tentu tidak seramai dan seheboh itu. Namun terlambat, udah kepalang tanggung mencak-mencaknya itu dibaca banyak orang. Ketika kemudian mbak Hesti mengakui kesalahnnya dan meminta maaf justru hanya dijadikan bahan hujatan dan bully lanjutan.

Menginjak sampai merusak keindahan taman bunga—apalagi bunga ini hanya mekar setahun sekali—memang bukan perbuatan yang bisa dibenarkan begitu saja. Namun, menginjak penginjak bunga dengan hujatan dan sumpah serapah ternyata dianggap lumrah karena dilakukan secara berjamaah.

Lagi. Sekira hampir dua mingguan yang lalu, beredar foto pelajar di salah satu Madrasah Tsanawiyah di Purbalingga yang diunggah ke akun facebook miliknya, Gopenx All Well—kemudian diketahui nama aslinya Jefri Iftiadi—dengan pose mengacungkan jari tengah kepada lukisan Jenderal Soedirman yang sedang hormat, dengan cengengesan dan melampirkan satu kata pada unggahannya itu; “FVCK”


”Lho, maksudmu apa, dek? Nek gak dike’i sangu wong tuamu sewaktu adek mau jalan-jalan, mbok jangan dilampiaskan dengan cara gitu toh! Itu akibat adek males waktu disuruh orang tua adek, mungkin. Atau mungkin orang tua adek memang sedang tidak punya uang. Dan apa adek tidak tahu? Itu salah satu pahlawan kita lho, dek. Seharusnya adek hormati meskipun hanya gambar. Bukan malah mengacungkan jari tengah sambil cengengesan seolah bangga gitu!”


Benar saja. Alih-alih merasa keren dan menuai banyak pujian dari teman-temannya di media sosial dengan pose demikian, adek gemes ini justru mendapat banyak kecaman sampai dilaporkan ke kepolisian oleh beberapa netizen karena dianggap melecehkan.


“Jangan diulangi lagi ya, dek. Kakak-kakak yang menghujatmu itu, barangkali cuma ngasih kamu pelajaran kok biar kamu lebih baik lagi. Jangan kapok bermedia sosial!”


Hal serupa bisa menimpa siapa saja, di mana saja. Bahkan nama-nama besar sekalipun tidak luput dari hal itu. Darwis Tere Liye, misal. Novelis megaproduktif dengan karya-karya yang sering mendapat stempel "Best Seller". Belio pernah jadi bahan bully-an netizen karena tulisannya di FP miliknya yang menyinggung soal kepahlawanan Ulama-ulama besar dan umat beragama lain, lalu mengesampingkan peran komunis, sosialis, aktivis HAM, atau liberalis. Dengan kata lain, belio meragukan kepahlawanan Soekarno atau Tan Malaka.

Beruntung, Tere tidak sendirian. Dibelakangnya banyak ribuan bahkan jutaan fans garis keras yang—manggut-manggut dengan tulisan-tulisan blio, like, kemudian ijin share—siap membela mati-matian sang idola.

Pun Fahira Idris, Senator RI, Wakil Ketua Komite III DPD RI, yang tempo hari saya tulis. Ibu Senator juga tidak sendirian. Dibelakangnya banyak yang siap mendukung bahkan jika harus perang urat saraf sekalipun.

Dan masih banyak lagi postingan serupa baik berupa foto atau tulisan yang kemudian menuai polemik di kalangan netizen.

Dunia maya bisa jadi jauh lebih kejam dari dunia nyata. Bisa lebih menyakitkan dari ejekan teman karena kita jomblo terlalu lama. Atau bisa terasa lebih perih dari ketika kita melihat mantan lewat di depan kita dengan pasangan barunya. 

Sedikit saja kesalahan yang kita lakukan, bisa menjadi lahan pencitraan orang lain agar dianggap baik. Itulah sebab, di dunia maya ini, pencitraan itu penting. Barangkali tulisan ini termasuk. Eh!

0 Response to "Itulah Sebab di Dunia Maya Ini Pencitraan Itu Penting"

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar anda. Kritik atau saran sangat saya harapkan untuk menjadikan lebih baik ke depannya. Komentar akan dimoderasi sebagai filter terhadap komentar-komentar yang tidak sesuai. Tabik!

Iklan Atas Artikel (WM2)

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel